SVLK: Manfaat dan Dampaknya Bagi Industri Perkayuan Indonesia dalam Menghadapi Perdagangan Global

Septi's Page
7 min readSep 6, 2023

--

Maraknya isu illegal logging dan illegal trading membuat permintaan kayu yang ada di pasar internasional menuntut adanya legalitas kayu dari negara-negara produsen, salah satunya Indonesia. Sehingga muncul-lah sebuah sistem yang mengatur hal tersebut yang disebut dengan SVLK.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).

cr: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fjemmswood.com%2Fsvlk-sistem-verifikasi-legalitas-kayu%2F&psig=AOvVaw3mKrD0668yhgeuYi_RVmvS&ust=1694056427647000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CBIQjhxqFwoTCNDQypGClYEDFQAAAAAdAAAAABAP
Sertifikasi SVLK

SVLK mulai berlaku di Indonesia sejak 1 September 2009. SVLK diterapkan dengan tujuan untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan memiliki status legalitas yang meyakinkan, terutama bagi konsumen di luar negeri. Sehingga unit manajemen hutan tidak perlu khawatir hasil kayunya akan diragukan keabsahannya. Demikian dengan industri pengolahan kayu, mereka juga lebih yakin terhadap legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri.

Tujuan diterapkannya SVLK bagus untuk dilakukan. Namun, pada nyatanya terdapat berbagai permasalahan yang justru muncul dengan diterapkannya kebijakan tersebut. Kebijakan SVLK yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK dan Kementerian Perdagangan menunjukkan adanya perubahan yang dinamis dan cepat sementara pengguna kebijakan (industri dan hutan rakyat) cenderung lambat dan masih dalam tahap awal untuk mengadopsi kebijakan SVLK tersebut. Bahkan ada yang belum paham tentang kebijakan tersebut. Kebijakan yang terlalu cepat berubah tersebut pada akhirnya akan membingungkan pengguna atau bahkan memicu untuk tidak mengadopsi kebijakan tersebut.

Di sisi lain, kebijakan yang berasal dari Kementerian Perdagangan cenderung melemahkan kebijakan SVLK itu sendiri. Pada tahun 2014 dapat dilihat pada Permendag Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 yang mengamanatkan dokumen V-Legal wajib untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas, furniture dan kerajinan untuk pelaku usaha besar, serta Deklarasi Ekspor untuk IKM furniture. Kemudian pada tahun 2015 diterbitkan Permendag Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 yang menyatakan bahwa dokumen V-Legal hanya diberlakukan untuk panel, woodworking, bangunan prefabs, sebagian pulp dan kertas, namun tidak untuk furniture dan kerajinan. Selanjutnya peraturan tersebut kembali direvisi dalam Permendag Nomor 25/M-DAG/PER/4/2016, bahwa furniture dan kerajinan wajib V legal.

Dari hal tersebut sudah terlihat bahwa dari segi materi penetapan kebijakannya terkesan tidak konsisten dalam upaya mendukung SVLK dan menunjukkan lemahnya koordinasi antar kementerian dalam mendukung suatu kebijakan terkait bahan baku yang diambil dari hutan dan perdagangannya. Kebijakan yang mudah berubah dalam waktu singkat membuat iklim usaha semakin tidak pasti. Bagi pengusaha kecil dan mikro, pengurangan biaya assessment untuk SVLK berdasarkan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014 perlu disertai dengan persyaratan kelompok yang berdampak secara tanggung renteng bagi semua anggota kelompok masih menjadi kendala.

Walaupun demikian, terdapat dampak positif yang dirasakan oleh pihak pengusaha industri kecil, sedang, maupun besar, yaitu memiliki assessment untuk syarat ekspor dan manajemen usaha menjadi lebih tertib. Sehingga dapat mengevaluasi kinerja industri demi eksistensi industri itu sendiri. Sedangkan dampak yang kurang menguntungkan pengusaha sedang dan besar adalah belum adanya penambahan akses pasar dan peningkatan harga output karena menggunakan kayu bersertifikasi.

Hal lain yang menjadi sumber kebingungan adalah dari persyaratan administrasi. Pemerintah membuat persyaratan administrasi yang cukup rumit dengan tujuan untuk mengurangi kebocoran produk kayu ilegal. Namun, rumitnya administrasi tersebut justru membuat industri kecil berpeluang untuk menambah biaya bagi pengurusan SVLK untuk mengekspor produk kayunya karena tidak diimbangi dengan kapasitas sumber daya manusia yang memadai. Apalagi sebagian besar pengusaha kecil ini banyak yang belum memiliki izin usaha sebagai salah satu persyaratan SVLK. Di sisi lain, Suryandari dkk (2017) menyatakan bahwa SVLK memiliki persyaratan administrasi yang lebih sederhana dan murah dibanding Forest Stewardship Council (FSC).

Kebijakan SVLK berlaku baik untuk peredaran barang kayu dalam negeri maupun ke luar negeri. Namun, sejauh ini SVLK tidak berdampak pada barang kayu untuk permintaan lokal karena konsumen tidak menyaratkan sertifikasi. Selama ini petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Penambahan biaya sertifikasi dan rumitnya administrasi menjadi beban yang tidak ringan, sementara tidak ada peningkatan harga kayu rakyat (Suryandari dkk, 2017). Pemerintah perlu memberikan sosialisasi yang lebih intensif dan pendampingan agar petani dan pengusaha kecil dapat mengadopsi kebijakan dengan lebih baik. Koordinasi pusat ke daerah selayaknya lebih ditingkatkan, mengingat implementasi kebijakan SVLK tidak hanya berdampak terhadap target yaitu industri dan hutan rakyat, tetapi juga memberikan pengaruh kepada pemerintah daerah.

Permasalahan lain yang timbul yaitu kurangnya informasi mengenai peraturan dan peluang untuk masuk ke pasar internasional. Hal ini diduga karena permasalahan sumber daya manusia sehingga pendampingan perlu dilakukan hingga industri tersebut mandiri dalam bentuk asosiasi industri maupun koperasi hutan rakyat. Contohnya yaitu APIKRI: Asosiasi Industri Kayu, Kerajinan, dan Mebel di DIY yang dapat membantu kesulitan pengusaha/pengrajin baik dari sisi ekonomi sekaligus kelembagaannya.

Petani di Jawa Barat dan Yogyakarta juga memiliki permasalahan yang sama yaitu memiliki pemahaman yang terbatas tentang SVLK apalagi rata-rata petani berpendidikan rendah dan tidak memungkinkan untuk membuat peta lokasi tanaman hutan rakyat yang memenuhi syarat SVLK. Maka dari itu, pendampingan menjadi syarat mutlak yang diperlukan petani. Selain itu, petani tidak akan berubah pendiriannya atau pemahamannya jika tidak mendapatkan insentif yang nyata. Mereka akan lebih percaya terhadap hasil yang nyata dibandingkan hanya penuturan belaka. Sehingga dengan adanya ketua kelompok harapannya mampu mempengaruhi anggotanya. Sehingga akan lebih efektif apabila ketua kelompok tani merupakan pengurus desa atau pemuka agama yang disegani.

Di sisi lain, keberadaan SVLK yang belum memberikan dampak berupa harga output yang lebih tinggi dan belum berpengaruh terhadap kelestarian hutan rakyat tentunya akan merugikan para petani. Mereka harus membayar harga yang tidak murah namun output yang dihasilkan tidak menutup uang pembayaran tersebut. Atau bahkan bisa saja outputnya lebih rendah. Padahal hutan rakyat masih menganut sistem tebang butuh untuk menyokong kehidupan sehari-harinya. Hal yang senada juga ditemukan pada kelompok tani hutan rakyat di Jawa Tengah bahwa masyarakat merasa tidak diuntungkan dengan adanya SVLK.

Dengan adanya SVLK juga tidak dapat menjawab kebutuhan mereka. Secara ekonomi, sertifikasi SVLK untuk hutan rakyat adalah logika yang aneh dan bisa mengurangi luasan hutan rakyat di pedesaan (Suryandari dkk, 2017). Bagi industri kecil dan mikro, adanya beban biaya sertifikasi SVLK tanpa memperoleh premium price dari konsumen justru berpotensi membuat industri tutup dan menjadi konsekuensi negatif lebih lanjut bagi petani. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di Rusia sertifikasi hutan belum memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat dan industri kecil dan menengah (Suryandari dkk, 2017). Adanya sertifikasi telah mengakibatkan perusahan kecil dan menengah tutup dan masyarakat lokal kehilangan akses untuk kayu gergajian serta harga kayu bakar menjadi meningkat.

Kemudian, setelah mendapatkan sertifikasi VLK, ternyata juga tidak menjamin para pengusaha mendapatkan akses yang mudah ke negara lain untuk menjual kayunya. Dan tidak banyak negara besar yang terlalu memperdulikan dan mengakui tentang legalitas kayu karena nyatanya perdagangan kayu ilegal saja masih banyak terjadi. Saat ini, yang mengakui SVLK sebagai bukti dan jaminan legalitas kayu Indonesia hanya Uni Eropa. Dengan adanya FLEGT-VPA dan lisensi FLEGT, produk kayu asal Indonesia yang masuk ke Uni Eropa terbebas dari due diligence. Namun, jika masuk ke negara lain di luar Uni Eropa tidak mendapatkan perlakukan spesial apapun (Nurkomariyah dkk, 2016). Lalu mengapa pemerintah memberikan mandat bahwa SVLK harus dilakukan untuk semua negara tujuan ekspor? Pemerintah nampaknya kebablasan dengan menetapkan SVLK mandatory untuk semua negara tujuan ekspor. Negara importir selain Uni Eropa tidak ada yang mensyaratkan SVLK bahkan belum banyak yang mengakuinya sebagai alat penjamin legalitas kayu seperti halnya FSC dan PEFC. Baru sertifikat yang berasal dari FSC-CoC yang dapat meyakinkan konsumen bahwa bahan baku kayu berasal dari hutan yang dikelola secara lestari dan jelas asal usulnya (Nurkomariyah dkk, 2017).

Meskipun pengaruh SVLK di pasar internasional dan di Uni Eropa belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, namun adanya komitmen pada FLEGT-VPA dan lisensi FLEGT dari Uni Eropa maka Indonesia harus tetap melaksanakan perjanjian tersebut kepada pemerintah Uni Eropa. Namun, pemerintah juga perlu melakukan negosiasi untuk memperkuat posisi Indonesia. Seharusnya Indonesia memiliki peluang pasar yang lebih besar dari negara lain. Upaya ini harus diperjuangkan oleh pemerintah kepada komisi Uni Eropa. Dengan demikian, industri furnitur kayu akan dapat menerima manfaat SVLK yang lebih besar dan bersemangat untuk melakukan surveillance dan resertifikasi.

Selain beberapa permasalahan di atas, namun terdapat beberapa manfaat yang didapatkan dengan diterapkannya SVLK. Walaupun pada nyatanya masih ada beberapa hal yang bertentangan dengan manfaat tersebut, di antaranya (Salam dkk, 2014):

  1. Produsen yang telah memiliki dokumen V-Legal diberikan hak untuk menaikkan harga jual produknya. Untuk pasar Amerika, kenaikan yang diperboleh adalah berkisar 5–15 % dari harga normal. Dengan dinaikkannya harga tersebut harapannya bisa digunakan sebagai ganti rugi biaya pengurusan VLK. Namun, beberapa produsen masih ragu-ragu untuk memberlakukan kenaikan harga karena mereka khawatir akan kehilangan pembeli mengingat kondisi pasar yang tidak begitu stabil. Namun, ada juga produsen yang mengatakan tidak akan menaikkan harga karena sudah berkomitmen dengan konsumennya dan keuntungan yang mereka peroleh sudah lebih dari cukup.
  2. Berkaitan dengan lingkungan, pemberlakuan V-Legal membawa dampak positif dan mempersempit ruang gerak untuk kayu ilegal.
  3. Ketika setiap industri furniture sudah terdaftar, pemerintah akan lebih mudah melakukan pembinaan, pendataan, dan pengawasan perusahaan terkait penggunaan bahan baku. Selain itu, juga akan mendorong para pelaku usaha menjadi lebih tertib izin usaha dan penatausahaan hasil hutan.

REFERENSI

Nurkomariyah, Siti, Muhammad Firdaus, dan Dodik Ridho Nurrochmat. 2016. Transformasi Regulasi Sertifikasi Legalitas Kayu. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan 3 (3): 262–272.

Salam, Ahmad Subulas, Purwanto, dan Suherman. 2014. Penerapan V-legal Pada Industri Furniture Kayu di Jepara Sebagai Upaya Meningkatkan Nilai Jual Produk. Jurnal Ilmu Lingkungan 12 (1) : 32–41.

Suryandari, Elvida Yosefi, Deden Djaenudin, Satria Astana, Iis Alviya. 2017. Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu Terhadap Keberlanjutan Industri Kayu dan Hutan Rakyat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 14 (1): 19–37.

--

--

Septi's Page
Septi's Page

Written by Septi's Page

Hello, there! Welcome to my story!

No responses yet